Kepastian Hukum Status Benda Sitaan Kendaraan Bermotor: Urgensi Penafsiran dan Pengaturan Pelaksanaan Pasal 271 Ayat (4) UULLAJ

Kepastian Hukum Status Benda Sitaan Kendaraan Bermotor: Urgensi Penafsiran dan Pengaturan Pelaksanaan Pasal 271 Ayat (4) UULLAJ

Humas MA, Jakarta
Selasa, 28 Oktober 2025

Pasal 271 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ) mengatur mengenai penanganan benda sitaan berupa kendaraan bermotor yang belum diketahui pemiliknya.

Pasal 271 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ) mengatur mengenai penanganan benda sitaan berupa kendaraan bermotor yang belum diketahui pemiliknya.

Namun, ketentuan tersebut dalam praktiknya masih menghadapi dua permasalahan utama, khususnya mengenai implementasi ketentuan Pasal 271 ayat (4) UULLAJ yang pada pokoknya menyebutkan bhawa kendaraan bermotor hasil sitaan yang telah lewat 1 (satu) tahun belum juga diketahui pemiliknya maka kendaraan tersebut dapat dilelang untuk negara berdasarkan penetapan Pengadilan.

Pertama, tidak adanya kejelasan mengenai makna frasa belum diketahui pemiliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 Ayat (4) UULLAJ, yang menimbulkan beragam tafsir dikalangan aparat penegak hukum.

Kedua, belum terdapat aturan pelaksana dari Pasal 271 Ayat (4) UULLAJ yang secara khusus mengatur prosedur penanganan dan pelelangan benda sitaan berdasarkan penetapan pengadilan.

Ketiadaan makna frasa belum diketahui pemiliknya dan ketiadaan aturan pelaksana tersebut telah menimbulkan dampak nyata dilapangan.

Sebagai contoh, terjadi penumpukan belasan unit kendaraan bermotor hasil sitaan pelanggaran lalu lintas sejak tahun 2021 hingga tahun 2024 di Kejaksaan Negeri Balangan.

Contoh lainnya, terjadi di wilayah Kejaksaan Negeri Jayapura, yang tanggal 15 Juli 2025 mengumumkan barang bukti perkara pelanggaran lalu lintas dari sidang tahun 2022 yang belum diambil akan diproses lebih lanjut.

Seperti halnya kedua contoh tersebut, dalam praktik masih banyak ditemukan kendaraan hasil sitaan pelanggaran lalu lintas, yang tidak kunjung diambil dalam jangka waktu lama, meskipun perkara tersebut telah diputus dan telah berkekuatan hukum tetap.

Situasi ini berpotensi menimbulkan berbagai konsekuensi negatif, antara lain beban penyimpanan yang berkepanjangan, pemborosan anggaran negara, potensi penyalahgunaan barang sitaan, serta pelanggaran terhadap prinsip kepastian hukum.

Maka, diperlukan kajian lebih lanjut untuk menjamin kepastian hukum terhadap status benda sitaan, berupa kendaraan bermotor dalam perkara pelanggaran lalu lintas, khususnya ketika eksekusinya telah melampaui batas waktu yang wajar atau tergolong daluwarsa.

Makna Frasa Belum Diketahui Pemiliknya dalam Pasal 271 Ayat (4) UULLAJ

Ketiadaan makna frasa belum diketahui pemiliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 Ayat (4) UULLAJ, menimbulkan beragam tafsir dilapangan yang berpotensi menghasilkan perbedaan sikap dan tindakan antar aparat penegak hukum.

Baca Juga:  Panglima TNI Hadiri Parade Senja dan Penurunan Bendera Dipimpin Presiden RI Prabowo Subianto

Frasa ini dapat dimaknai secara berbeda, misalnya ketidakmampuan pelanggar membuktikan kepemilikannya atas kendaraan, alamat yang dicantumkan tidak valid atau tidak dapat diverifikasi, atau kendaraan yang tidak diambil dalam jangka waktu tertentu dapat dianggap sebagai tidak diketahui pemiliknya.

Ketidakjelasan ini, berisiko menimbulkan pelanggaran asas legalitas, karena kendaraan yang disita merupakan barang bukti dalam perkara pelanggaran lalu lintas, yang status kepemilikannya tidak serta-merta beralih menjadi milik negara, hanya karena tidak diambil oleh pemiliknya. Setiap perubahan status hukum atas barang bukti harus melalui mekanisme hukum yang sah.

Pasal 10 Ayat (2) PERMA Nomor 12 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Lalu Lintas, menyebutkan pelanggar dapat mengambil barang bukti kepada Jaksa selaku eksekutor di kantor Kejaksaan dengan menunjukkan bukti pembayaran denda.

Namun praktiknya, tidak semua barang bukti diambil pemiliknya dan tidak sedikit kendaraan hasil sitaan pelanggaran lalu lintas dibiarkan menumpuk dalam waktu lama.

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1947 tentang Mengurus Barang-Barang yang di Rampas dan Barang-Barang Bukti, memberikan solusi dengan memberikan kewenangan kepada Jaksa menjual barang bukti yang tidak diambil dalam enam bulan sejak putusan dapat dieksekusi untuk mencegah penumpukan barang bukti dan beban penyimpanan yang tidak proporsional.

Lebih lanjut, Pasal 271 UULLAJ juga mewajibkan penyidik mengidentifikasi dan mengumumkan keberadaan kendaraan bermotor yang belum diketahui pemiliknya melalui media massa dengan mencantumkan ciri-ciri kendaraan, lokasi penyimpanan, serta tanggal penyitaan.

Pengumuman ini, harus dilakukan paling sedikit satu kali dalam enam bulan. Apabila lebih dari satu tahun pemilik kendaraan belum diketahui maka kendaraan tersebut, dapat dilelang untuk negara berdasarkan penetapan Pengadilan.

Namun, sebelum Jaksa mengajukan permohonan penetapan ke Pengadilan, seluruh prosedur administratif harus dijalankan secara maksimal.

Dalam peraturan internalnya yaitu Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-002/A/JA/05/2017, Jaksa wajib terlebih dahulu mengirimkan panggilan resmi kepada pemilik.

Jika dalam 30 hari sejak panggilan dikirim pemilik tidak ditemukan, jaksa wajib mengumumkan pengembalian kendaraan melalui kantor desa, pengadilan negeri, atau media massa, sebanyak dua kali dengan jeda 30 hari.

Bilamana setelah seluruh tahapan tersebut kendaraan masih tidak diambil, maka jaksa membuat laporan tertulis kepada Kepala Kejaksaan Negeri sebagai dasar pengajuan penetapan status barang sitaan.

Dalam situasi tertentu, Pedoman Jaksa Agung Nomor 3 Tahun 2022 juga memberikan opsi bagi jaksa untuk mengantarkan langsung kendaraan kepada pemilik, apabila terdapat alasan yang sah yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti kondisi kesehatan pemilik, lokasi geografis, atau alasan logistik lainnya.

Baca Juga:  Asosiasi PKL Desak Jaksa Agung Usut Tuntas Kebocoran Subsidi Gas LPG 3 Kg

Dengan demikian, frasa belum diketahui pemiliknya dalam Pasal 271 Ayat (4) UULLAJ tidak dapat dimaknai secara sempit melainkan harus dimaknai sebagai suatu kondisi hukum yang telah melalui proses administratif dan upaya maksimal untuk menghubungi pemilik kendaran.

Penafsiran ini, penting sebagai dasar pertimbangan bagi jaksa dalam menindaklanjuti status benda sitaan dan bagi Ketua Pengadilan Negeri dalam menetapkan perubahan status barang bukti menjadi barang rampasan negara.

Ketiadaan Aturan Pelaksanaan dari Pasal 271 Ayat (4) UU LLAJ

Ketiadaan aturan pelaksana yang secara tegas mengatur mengenai proses dan tahapan penanganan kendaraan bermotor hasil sitaan pelanggaran lalu lintas yang akan dilelang berdasarkan penetapan Pengadilan, mengakibatkan tidak adanya keseragaman dalam praktik di lapangan serta menghambat efektivitas pengelolaan barang bukti, oleh aparat penegak hukum.

Meskipun secara normatif, mekanisme pelelangan benda sitaan telah diatur dalam Pasal 3 huruf M Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (PMK 122/2023), yang mengklasifikasikan benda sitaan dalam Pasal 271 UULLAJ sebagai objek lelang eksekusi wajib.

Namun, pelaksanaan lelang hanya dapat dilaksanakan apabila telah terdapat salinan/fotokopi surat penetapan pengadilan yang menyatakan benda sitaan dapat dilelang, sebagaimana disyaratkan dalam Lampiran PMK 122/2023.

Pada praktiknya, Jaksa dalam menangani benda sitaan berupa kendaraan bermotor yang tidak diambil oleh pelanggar merujuk pada Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-002/A/JA/05/2017.

Prosedur dimulai dengan pengiriman panggilan resmi kepada pemilik, jika dalam waktu 30 hari sejak panggilan dikirim pemilik tidak ditemukan, jaksa wajib mengumumkan pengembalian kendaraan melalui kantor desa, Pengadilan Negeri, atau media massa sebanyak dua kali dengan jeda waktu 30 hari.

Apabila kendaraan tetap tidak diambil setelah seluruh tahapan tersebut dilalui, jaksa menyusun laporan tertulis kepada Kepala Kejaksaan Negeri.

Selanjutnya Kepala Kejaksaan Negeri, dapat menetapkan agar kendaraan tersebut dilelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), dengan hasil lelang disetorkan ke kas negara.

Meski demikian, berdasarkan Lampiran PMK 122/2023 proses pelelangan tersebut tetap memerlukan penetapan Pengadilan terlebih dahulu. Tanpa penetapan Pengadilan, pelelangan tidak dapat dilaksanakan.

Permasalahan timbul, saat Jaksa mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menerbitkan penetapan terhadap barang sitaan agar dapat dilakukan pelelangan, namun permohonan tersebut hanya didasarkan pada peraturan internal Kejaksaan seperti pedoman atau petunjuk teknis yang secara yuridis tidak bersifat mengikat bagi Pengadilan.

Baca Juga:  Subsidi Diduga Bocor 60%, dr Ali Mahsun: Efisiensi dan Berantas Korupsi!

Akibatnya, tidak sedikit permohonan yang ditolak oleh Ketua Pengadilan Negeri, karena dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Solusi Atas Masalah Implementasi Ketentuan Pasal 271 Ayat (4) UULLAJ

Sebagai solusi atas permasalahan implementasi ketentuan Pasal 271 Ayat (4) UULLAJ tersebut, diperlukan adanya peraturan pelaksana yang secara tegas mengatur mekanisme, prosedur, kewenangan, serta batasan dalam penerbitan penetapan Pengadilan atas benda sitaan kendaraan bermotor dalam perkara pelanggaran lalu lintas yang tidak diambil oleh pelanggar dalam jangka waktu lebih dari satu tahun.

Peraturan tersebut, dapat dijadikan acuan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam menilai apakah permohonan Jaksa terhadap barang sitaan tersebut memenuhi syarat untuk dikabulkan dengan menetapkan dan mengalihkan barang sitaan sebagai barang rampasan negara, sehingga dapat dilelang.

Selain itu, pengaturan ini perlu disertai dengan penjelasan yang tegas dan jelas mengenai makna frasa belum diketahui pemiliknya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (4) UULLAJ.

Idealnya, peraturan pelaksana dari Pasal 271 Ayat (4) UULLAJ tersebut dimasukkan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) sebagai sumber hukum acara pidana yang bersifat mengikat bagi seluruh lembaga penegak hukum.

Di sisi lain, tanpa adanya penetapan dari Pengadilan proses pelelangan melalui KPKNL tidak dapat dilaksanakan.

Kondisi ini, berdampak langsung pada terjadinya penumpukan kendaraan bermotor hasil sitaan di Kejaksaan, yang akhirnya menimbulkan persoalan teknis, administratif, dan yuridis dalam pengelolaan barang sitaan.

Sebagai solusi jangka pendek, Mahkamah Agung dapat menggunakan kewenangannya berdasarkan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung untuk mengisi kekosongan hukum tersebut dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).

PERMA memiliki kekuatan hukum dalam penyelenggaraan peradilan dan dapat menjadi pedoman bagi seluruh Pengadilan Negeri guna menjamin kepastian hukum dan mencegah terjadinya ketimpangan praktik antar Pengadilan.

Penulis: Novi Mikawensi