Sri Septiany dan Aditya Yudi Taurisanto – Dandapala Contributor
Sabtu, 01 Nov 2025
Yogyakarta – Dalam Seminar Nasional bertema “RKUHAP di Persimpangan Jalan: Reformasi Peradilan atau Regresi Penegakan Hukum” yang diselenggarakan oleh Keluarga Magister Hukum Litigasi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (KMHLi FH UGM) pada Sabtu (1/11), Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung RI, Jupriyadi, memaparkan pandangan mendalam mengenai arah pembaruan hukum acara pidana nasional melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
Beban Perkara dan Urgensi Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Mengawali paparannya, Jupriyadi menyoroti beban perkara di Mahkamah Agung yang kian berat. Saat ini, sekitar 15.000 perkara pidana ditangani oleh hanya 16 Hakim Agung, dengan rata-rata 100 perkara disidangkan setiap hari. Kondisi tersebut, menurutnya, menunjukkan betapa pentingnya mekanisme penyaringan perkara sejak tingkat penyidikan dan penuntutan.
Ia menyinggung pula pandangan Edward O.S. Hiariej terkait upaya hukum luar biasa seperti peninjauan kembali (PK) yang kini sudah tidak lagi “luar biasa”, karena jumlahnya mencapai sekitar 3.000 perkara per tahun. Dalam konteks itu, Jupriyadi menilai, keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) berpotensi menjadi inovasi penting dalam RKUHAP.
Menurutnya, fungsi HPP tidak secara langsung mengurangi jumlah perkara yang masuk ke pengadilan, tetapi dapat menekan overkapasitas lembaga pemasyarakatan dengan memberi filter awal atas penahanan di tahap penyidikan. Jika HPP juga diberi kewenangan menilai kelayakan perkara untuk dituntut, beban perkara di pengadilan akan berkurang signifikan.
Meski demikian, Jupriyadi mengingatkan bahwa dalam proses perumusan RKUHAP, konsep HPP telah beberapa kali direvisi dan berubah posisi, yang semula dihapus, lalu dimunculkan kembali. Hal ini menunjukkan dinamika dan tarik menarik pandangan di antara para perumus.
“Namun, sebagaimana pepatah, begitu sebuah undang-undang disahkan, maka ia sudah menjadi layon atau mayat, yang tidak bisa lagi diotak-atik. Sebaik apa pun rancangan KUHAP, dalam praktik pasti masih ada kekurangan,” ujarnya. Karena itu, Mahkamah Agung selalu berperan melengkapi kekosongan hukum melalui SEMA dan PERMA.
Menjaga Fungsi Praperadilan sebagai Kontrol Horizontal
Jupriyadi menegaskan pentingnya mempertahankan asas diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana. Menurutnya, praperadilan harus tetap berfungsi sebagai kontrol horizontal terhadap penyidik dan penuntut umum, bukan sebagai forum pemeriksaan perkara pokok.
Ruang lingkup praperadilan, lanjutnya, seharusnya terbatas pada aspek formal, sebagaimana diatur dalam Perma Nomor 4 Tahun 2016. Jika praperadilan memasuki substansi perkara, akan muncul potensi conflict of interest bagi hakim yang kelak memeriksa perkara pokok yang sama.
“Forum praperadilan dan forum pemeriksaan pokok perkara harus dijaga eksistensinya. Ini kunci untuk mempertahankan mekanisme pengawasan dan keseimbangan dalam sistem peradilan pidana,” tegasnya.
Exculpatory Defense dan Exculpatory Evidence dalam RKUHAP
Salah satu pembaruan penting yang diangkat Jupriyadi ialah pengakuan eksplisit terhadap konsep Exculpatory Defense dan Exculpatory Evidence dalam RKUHAP.
Menurutnya, Exculpatory Defense adalah pembelaan yang membebaskan terdakwa dari tanggung jawab pidana karena adanya keadaan yang meniadakan kesalahan, misalnya pembelaan diri, tidak adanya kesengajaan, keadaan darurat, atau alasan pemaaf dan pembenar lain sebagaimana diatur dalam KUHP.
Sementara itu, Exculpatory Evidence merupakan bukti yang meringankan terdakwa terutama yang berpotensi menyebabkan terdakwa tidak bersalah, seperti rekaman CCTV yang menunjukkan terdakwa tidak berada di tempat kejadian, keterangan saksi yang menyebut pelaku orang lain, bukti ilmiah berupa DNA yang meniadakan keterlibatan, atau dokumen resmi yang menguatkan alibi.
Jupriyadi menjelaskan, meskipun istilah tersebut tidak disebut secara eksplisit dalam KUHAP lama, substansinya sudah diatur. Misalnya, asas praduga tak bersalah (Pasal 8 ayat 1 KUHAP), hak terdakwa untuk membela diri (Pasal 65), kewajiban hakim menggali fakta yang meringankan (Pasal 183-184), serta kewajiban jaksa untuk bersikap objektif (Pasal 140 ayat 2).
Namun, ia menyoroti bahwa objektivitas jaksa sering kali bersifat subjektif, karena secara internal, apabila terdakwa sampai bebas, jaksa tetap dikenai evaluasi. Hal itu, menurutnya, menjadi tantangan tersendiri agar penuntut umum bekerja optimal namun tetap berimbang.
Penguatan Prinsip Keadilan dan Due Process of Law
Menutup paparannya, Jupriyadi menekankan tiga prinsip utama yang perlu menjadi roh pembaruan RKUHAP, yakni:
1. Due Process of Law, sebagai jaminan bahwa setiap proses hukum berjalan adil dan sesuai prosedur;
2. Keseimbangan antara fungsi penuntutan dan pembelaan, agar sistem peradilan pidana tidak timpang; dan
3. Transparansi dan akuntabilitas penegak hukum, untuk menumbuhkan kembali kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
“RKUHAP, sebaik apa pun disusunnya, pasti tidak akan sempurna. Hukum akan selalu tertinggal dari dinamika masyarakat. Kalau kita menunggu semua pihak setuju dan cocok, maka RKUHAP tidak akan pernah lahir,” pungkasnya. (Red/*)
